Home / Mahasiswa Doktoral IPB Bongkar Bagaimana IoT Mengubah Cara Manusia Berpikir, Menciptakan dan Menerapkannya

Mahasiswa Doktoral IPB Bongkar Bagaimana IoT Mengubah Cara Manusia Berpikir, Menciptakan dan Menerapkannya

Mahasiswa Doktoral IPB Bongkar Bagaimana IoT Mengubah Cara Manusia Berpikir, Menciptakan dan Menerapkannya

AboutBanten.Com – Di tengah semarak smart home, mobil tanpa sopir, hingga petani yang memantau sawah lewat ponsel, lima mahasiswa program doktoral IPB University justru menyoroti hal yang jauh lebih mendasar, bagaimana manusia memahami dunia dan membangun kebenaran di era Internet of Things (IoT).

Mereka adalah Meiby Zulfikar, Evelyne Riandini, Sulasy Rohmi, Serina Putri Apsya, dan Yogi Hirmawan.

Lewat kajian berjudul “Perkembangan Pengetahuan di Era Internet of Things (IoT): Analisis Filsafat Sains tentang Transformasi Ilmu)”, kelimanya menyajikan analisis kritis yang mulai banyak diperbincangkan para akademisi dan pemerhati ilmu pengetahuan.

“Kita sudah tidak lagi hidup di era di mana ilmu pengetahuan hanya lahir di laboratorium atau perpustakaan,” ujar Sulasy saat dimintai penjelasan lebih lanjut.

“Saat ini, ilmu lahir dari perkembangan teknologi dibantu dengan berbagai koding atau sensor yang bekerja 24 jam, tanpa lelah, tanpa emosi, tanpa batas ruang dan waktu. Pertanyaannya: apakah itu masih bisa disebut ‘ilmu’ seperti yang kita pahami selama ini?”

Dalam kajian literatur bereputasi yang mereka susun, terdapat tiga pergeseran besar dalam cara manusia menghasilkan pengetahuan.

Pertama, epistemologi kita sedang di-hack. Jika dulu ilmuwan harus mengamati, bereksperimen, dan mengontrol variabel, kini sensor IoT melakukannya tanpa henti.

Dari suhu tanah di Cianjur, detak jantung pasien, PLC industri, hingga pola belanja di e-commerce dan media sosial.

“Algoritma kini menjadi agen pengetahuan,” tulis mereka mengutip Rob Kitchin (2021).

Konsekuensinya, kebenaran ilmiah tidak lagi sepenuhnya bersandar pada nalar manusia, tetapi pada kualitas kode, sensor, dan kepentingan pemilik platform.

Kedua, ontologi kita makin bias. Benda fisik dan digital melebur menjadi satu.

Mobil otonom bukan lagi sekadar mesin, tetapi digital twin yang hidup dalam bentuk data. Rumah pintar memiliki “kesadaran” lewat sensor.

“Objek ilmiah kini bisa berupa simulasi sempurna yang tak pernah disentuh manusia,” jelas Evelyne Riandini.

“Pertanyaannya: mana yang lebih nyata, padi di sawah, atau model prediksinya yang bisa menyelamatkan panen?”

Ketiga, risiko yang paling mengerikan: manusia bisa jadi bodoh karena terlalu pintar. Ketika semua jawaban tersedia lewat perangkat digital, kemampuan berpikir bisa tergerus.

Padalko (2025) menyebut era ini sebagai “Homo Connectus”, manusia yang makin terhubung, namun semakin berkurang kemampuan kognitifnya sendiri.

Namun kajian ini tidak berhenti sebagai alarm bahaya. Mereka juga menawarkan solusi berbasis etika dan keterbukaan.

“Kita butuh prinsip FAIR—Findable, Accessible, Interoperable, Reusable—untuk semua data IoT di Indonesia,” tegas Serina Putri Apsya.

“Jangan sampai ilmu pengetahuan masa depan dikuasai segelintir perusahaan raksasa. Harus ada akses publik, pengawasan etika, dan transparansi algoritma.”

Ia menegaskan pentingnya pembangunan regulasi nasional dan internasional yang mampu menjaga tata kelola pengetahuan di masa depan.

Kajian ini lahir dari diskusi kelas Filsafat Sains yang kemudian berkembang menjadi kegelisahan bersama.

“Kita sadar, perkembangan teknologi sedang jadi sentimen yang menarik. IoT yang gila-gilaan—smart city, smart home, mobil otomatisasi, dan lainnya. Tapi siapa yang mikirin filsafatnya?” cerita Meiby Zulfikar.

Dari sana lahir karya yang tidak hanya akademis, tetapi juga terasa profetik, sebuah peringatan sekaligus undangan untuk memikirkan kembali arah pengetahuan manusia di era digital.

“Kalau IoT dikelola dengan bijak, Indonesia bukan cuma jadi pengguna teknologi, tapi pencipta pengetahuan baru yang lebih adil dan manusiawi bagi dunia,” pungkas Evelyn.

Di tengah mudahnya akses informasi, diagnosa, dan berbagai layanan berbasis IoT, muncul pertanyaan besar tentang tanggung jawab atas pengetahuan yang tercipta.

“Itu yang harus dipikirkan sejak sekarang,” tambah Yogi Hirmawan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *